Penggabungan Peras Dengan Banten Pejati
Banten Pejati

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.

Unsur Dan Makna Filosofi

Adapun unsur-unsur banten pejati serta dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
Sarana yang Lain
Daksina terdiri atas:
  1. Daksina, kepada Sanghyang Brahma
  2. Banten Peras, kepada Sanghyang Isvara
  3. Banten Ajuman Rayunan/Sodaan, kepada Sanghyang Mahadeva
  4. Ketupat Kelanan, kepada Sanghyang Visnu
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian, manusia harus menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani
  7. Segehan alit, lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
  • bakul/serembeng, simbol arda candra
  • kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
  • bedogan, simbol swastika
  • kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
  • kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
  • telur bebek simbol windu dan satyam
  • tampelan, simbol trimurti
  • irisan pisang, simbol dharma
  • irisan tebu, simbol smara-ratih
  • benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia.

Fungsi Banten Pejati

Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
1.      Daksina kepada Sanghyang Brahma
2.      Peras kepada Sanghyang Isvara
3.      Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
4.      Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Cara Membuat

Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
  1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
  2. PERAS: memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
  3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
  4. TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.

Mantra Pejati :

Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.

Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha

Banten Ajuman

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.

Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
  1. Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
  2. Nasi penek atau “telompokan” adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
  3. Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut “sampyan kepet-kepetan”. dan dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
  4. beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Nama ANJUMAN originalnya berasal dari bahasa Sangsekerta / Hindu. Nama spesial tersebut memiliki definisi dan arti Nama Tempat. Ide menarik dalam memberikan nama bayi dengan nama ANJUMAN lebih pantas untuk bayi / anak berjenis kelamin Laki-Laki.

Sesayut

Pengertian Sesayut,  Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). 

Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
            
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya. Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah.

Adapun beberapa jenis sesayut sebagai berikut :

1.      Sesayut Mertya Dewa
Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat dari daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang jenis lainnya.

2.      Sesayut Sida Karya
Seperti yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
            
Hal senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.
            
Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).

Alat dan Bahan:
  1. Kulit Sesayut
  2. Segehan bentuk segi empat
  3. Tumpeng kecil
  4. 4 buah kwangen
  5. 2 buah tulung berisi nasi
  6. Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
  7. Daun sirih dan pinang
  8. Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
            Kulit sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.

Sesayut Sida Purna
Sesayut Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196).  Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).

Cara Pembuatan dan Alat dan Bahan:
  1. Kulit Sesayut
  2. nasi 3 bulung
  3. telur itik rebus dibagi 3
  4. bunga tunjung
  5. raka-raka (buah dan jajan)
  6. sampian nagasari
Cara menatanya:
            
Untuk alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196)

Sesayut Langgeng Amukti Sakti.

Sesayut ini terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut disisipi sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan kelengkapan sesayut lainnya.
Banten-banten yang disebutkan diatas merupakan sarana upakara yang dipergunakan oleh umat umat Hindu di Bali khususnya dalam pelaksanaan upacara panca yadnya. Bnaten-banten tersebut merupakan kristalisasi dari sekte-sekte yang ada Di Bali, yang dilihat sarana yang dipergunakan dalam pembuatan banten tersebut. Seperti pada contoh diatas semua banten menggunakan bahan pokok yaitu porosan yang merupakan penyatuan sekte Siwa, Brahma, dan Wisnu yang dikenal dengan nama Tri Murti. 

Dalam Daksina juga menggunakan bahan pokok yaitu kelapa yang di bersihkan hingga halus merupakan cerminan atau simbol dari Dewa Brahma. Bentuk-bentuk sesayut yang dipaparkan di atas merupakan cirri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja oleh Sekte Wainawa. Penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut “Pis Bolong” dalam berbagai upacara yadnya. Kata “Pis Bolong” secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini  adalah adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.