NILAI-NILAI UNIVERSAL HINDU
Pendahuluan

Nilai-nilai universal berlaku bagi seluruh umat manusia, terlepas dari suku, ras, daerah, budaya, dan sebagainya. Agama-agama besar di dunia jelas mengajarkan nilai-nilai universal tersebut. Agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Veda dan kesusastraan Veda dengan jelas mengajarkan nilai-nilai universal. Sebutan “Sanatana Dharma” untuk agama Hindu mewakili nilai-nilai universal ini. Agama Hindu relevan dengan segala tingkatan intelektual, emosional manusia, latar belakang sosial-budaya, geografis, dan sebagainya. Nilai-nilai universal ini masuk melalui berbagai media dan diungkapkan dalam berbagai cara sesuai dengan kemampuan, keadaan, dan waktu. Konsep ini melahirkan konsep kebudayaan Hindu yang beraneka rupa dalam perwujudan tetapi satu dalam esensi.

Dalam konteks kehidupan masyarakat yang multidimensional, multikultural, multibentuk, nilai-nilai universal agama-agama perlu dikedepankan. Agama diharapkan mampu sebagai perekat persaudaraan, persahabatan, dan persatuan secara mikro maupun makro. Adanya kecendrungan agama dijadikan sebagai alat kekuasaan, politik, ekonomi dapat menyeret agama-agama ke dalam ruang sempit dan parsial, dan hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan orang-orang tidak lagi mempercayai keberadaan agama-agama. Gerakan-gerakan fundamentalis pasti meniscayakan keberadaan agama-agama lain. Gerakan semacam ini mengingkari kebhinekaan umat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Konflik berbasis  agama nampak meningkat di berbagai belahan dunia. Jika kita sepakat ada nilai-nilai universal di dalam setiap agama besar di dunia, apakah dalam agama Hindu nilai-nilai universal itu dapat diidentifikasi; dan bagaimana hal itu dapat dirumuskan sebagai sebuah tatanan yang mampu menata perilaku santun masyarakat  ?


Universalisme Versus Relativisme


Agama Hindu adalah salah satu agama besar dan tertua yang kaya dengan nilai-nilai universal. Hanya saja, tradisi pembelajaran agama dalam lingkungan masyarakat Hindu di Indonesia masih terpola pada satu sistem sehingga belum mampu menggali, memahami, dan mensosialisasikan secara optimal nilai-nilai dimaksud di lingkungan komunitas umat, terlebih lagi kepada lingkungan yang lebih luas.
 Dalam kondisi masyarakat pluralistik, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenal nilai-nilai universal setiap agama besar di dalam rangka peningkatan kehidupan agama masing-masing. Untuk itu, diperlukan keterbukaan dan ketulusan di dalam mengenal masing-masing ajaran.

Bagi Hindu kebenaran suatu nilai universal terletak pada pengalaman mengalami nilai-nilai tersebut. Seseorang tidak cukup mengetahui ilmu agama, tetapi merasakan kebenaran-kebenaran di dalam kitab suci di dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian, agama adalah praktek dan disiplin dalam kehidupan sehari- hari. Beragama bukan di tempat suci saja tetapi dimana saja. Masyarakat dengan kebhinekaannya adalah medan dimana setiap orang melaksanakan aktivitas agamanya. Kitab suci Veda mengajarkan nilai-nilai univesal, mulai dari mantra, brahmana, aranyaka, upanisad, viracarita, purana, darsana, dan sebagainya.  Sumber-sumber ajaran Hindu di Indonesia, seperti dalam lontar-lontar tattva, tutur mengenai eksistensi yang tunggal dan yang banyak. Pembicaraan konsep ketuhanan, atman, dunia, dan hubungan masing-masing realitas itu akan menyinggung nilai-nilai universal ajaran agama Hindu.

Ekatva anekatva svalaksana Bhatara, sloka yang diambil dari Jnana Siddhanta tersebut di atas, pada dasarnya menunjukkan bahwa dasar srada Hindu di Indonesia mengakui adanya keragaman dalam yang tunggal dan Yang Tunggal dalam keanekaragaman. Teks ini kemudian menjadi sumber inspirasi Mpu Tantular mencetuskan slogan Bhinneka Tunggal Tan Hana Dharma Mangrwa sebagaimana tercantum dalam kakawin Sutasoma.

Dalam konteks universalisme dan relativisme itu, Radhakrishnan dalam bukunya Indian Philosophy  (1928) menyebutkan bahwa terdapat keselarasan yang seimbang antara Tuhan dan manusia dalam pemikiran Hindu. Dalam Hindu manusia adalah ciptaan Tuhan. Dunia seluruhnya tercipta karena pegorbanan Tuhan. Purusa Sukta berbicara tentang pengorbanan kekal yang melahirkan manusia dan dunia itu. Di dalam uraian itu seluruh dunia digambarkan sebagai ada yang tunggal dengan keleluasaan dan keagunggan tak terbandingkan, dihidupkan oleh satu roh, dan segala bentuk kehidupan terangkul dalam substansinya. Dengan demikian, kitab-kitab suci Hindu lebih menekankan pada aspek spiritual dan kontemplatif (kebudayaan Barat lebih bersifat ekslusif dan etis-rasional).

Bila diaplikasikan secara sosial, maka dalam Hindu diafirmasi kebebasan akal yang melekat pada setiap individu untuk mempertanyakan dan mengkritik keyakinan-keyakinan kehinduan yang melekat dalam dirinya. Harold Coward (1989; 115-117) mengajukan postulat yang bersifat historik dan metafisik dalam menujukkan posisi Hindu pada fenomena pluralisme. Historisitas Hindu — demikian Coward — dilandasi oleh pemahaman  karma, samsara, dan jiva di samping juga adanya jalan pembebasan yang dapat tercapai dengan jalan rohani (marga); sementara muatan metafisik terdapat dalam tradisi Brahman yang memahami realitas sebagai “keberadaan murni” sejajar dengan konsep ketakberubahan atma dalam tradisi Upanisad. Melalui argumentasi inilah diperoleh sikap toleran Hindu yang disebut dengan “perspektivisme”; diawali dengan penjelasan: “Seluruh alam (prakrti) tidak lain adalah lambang realitas yang tertinggi”.

Dalam rumusan yang sederhana, realitas mutlak bisa dipahami lewat berbagai sudut. Penjelasan ini hendak mengungkapkan bahwa spiritualitas Hindu adalah spiritualitas yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia bersama-sama, bukan semata-mata kesejahteraan diri sendiri, untuk kepentingan diri. Artinya, universalisme dapat bentuk dorongan untuk kesejahteraan umat manusia, disarankan harus diwujudkan dalam bentuk praksis.

Dalam konteks itu, tampaknya mantra dalam Athavaveda (7.54.1) dapat merefpleksikan hal itu sebagaimana berbunyi berikut. “Samjňănam nah svebhih samjňănamaranebhih samjňănamasvină yuvamihăsmăsu ni yacchatam”, artinya: Kami menyatukan semua sahabat akrab kami (svebhih) dan menyatukannya (samjňănam) dengan orang lain (aranebhih). Wahai, para orang tua ajarilah kami tentang kesatuan (samjnanam). Somvir (2003:5) memberi gambaran mengenai keanekaragaman sebagai berikut: ‘Busana’ kekayaan adalah keramahan, ‘busana’ orang kuat adalah ucapan halus, ‘busana’ pengetahuan adalah kedamaian, ‘busana’ orang yang belajar buku-buku suci adalah kerendahan hati, ‘busana’ tapa tidak lekas marah, ‘busana’ orang besar adalah sifat pemaaf, keindahan dharma adalah tidak mencela agama orang lain. Universalisme terletak pada sifat tidak mencela terhadap relativisme dan atau keanekaragaman agama yang ada. ‘Perintah’ itu terwakili dalam sloka Yayurveda (40:6) berikut.

Yastu sarvàni bhùtàn yàtmannevànu pasyati
sarva bhùtesu càmànamtato na vicikitsati.

Artinya:
Manusia yang bisa memelihat semua mahluk dalam dirinya dan melihat rohnya pada mahluk lain. Maka ia tidak akan merasa sedih dan ragu-ragu. Ketahuilah itu.

Universalisme dalam sistem Sosial

Salah satu indikator yang dapat digunakan membedakan satu komunitas agama dengan yang lain adalah pada sistem sosial, yaitu berupa tindakan berpola. Menurut saya, terdapat beberapa tindakan sosial yang mampu dijadikan identitas kultural bagi kemunitas Hindu di manapun berada. Sistem sosial dimaksud berkaitan dengan perilaku yang dilandasi oleh konsep ahimsa, karma, sewa, persaudaraan, dan tolong-menolong. Hal itu dapat direkontruksi melalui model berikut.

Ahimsa adalah atmospir bagi sistem sosial Hindu khas yang dapat menjadi acuan tindakan umat Hindu di manapun. Ia menjadi sumbu lahirnya perilaku standar umat Hindu lainnya. Karena itu, posisinya menjadi sentral di antara perilaku karma, sewa, persaudaraan, dan tolong-menolong. Ahimsa menjadi watak dasar perilaku adaptif dan responsif dengan situasi lingkungan yang dinamik. Konsep ahimsa pertama kali terdapat dalam Rgveda yang berasal dari bahasa Sansekerta adhavaram
yang berkaitan dengan yadnya (Somvir, 2003: 32).
  1. ahimsa
  2. karma
  3. sewa
  4. persaudaraan
  5. tolong-menolong
Ahimsa adalah sifat menahan diri terhadap himsa (kekerasan), yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan bagi mahluk yang memiliki kesadaran, yaitu manusia atau binatang. Pandangan Hindu tidak terlalu kaku memegang sesuatu yang bersifat sangat ideal, namun ia mengutuk semua sikap yang berkompromi terhadap kekerasan. Pemakaian kekuatan yang tidak berdasar adalah suatu kekerasan.

Dalam perspektif Hindu, ahimsa bukan sebuah kondisi fisik, tetapi sikap mental mencintai. Non-kekerasan sebagai suatu kondisi mental berbeda dengan sikap tak melawan. Non-kekerasan tidak memiliki dendam dan kebencian. Dalam bahasa Sangsekerta Himsa, atau kekerasan, berbeda dengan danda, atau hukuman. Himsa melukai orang yang tidak bersalah; sedangkan danda adalah tindakan pengendalian sah terhadap orang yang bersalah. Kekuatan bukanlah peletak hukum, melainkan hamba hukum. Dharma, atau kebenaran, adalah prinsip yang mengatur, dan kekuatan tunduk pada ketentuan-ketentuan. Metode-metode pengajaran kaum muda yang brutal, hukuman terhadap pelanggar aturan yang kasar, akan dihilangkan. Yang ideal dari ahimsa harus kita hormati sebagai tujuan yang berharga, dan penyimpangan dari hal ini akan disesali.

Dalam Rgveda (4.57.3) dijelaskan bahwa:”obat-obatan (oșadhīh), cahaya matahari (dyāvah) menjadi baik bagi kita (nah), angkasa (antarikșam) menjadi (bhawatu) penuh kebaikan (madhumat) bagi kita (nah). Petani pemilik tanah (ksetrasyapatih) menjadi (astu) baik (madhumān) bagi kita (nah). Kami pencinta ahimsa (arișyanta) mengikuti jalan tersebut (enam anucarema)”. Makna yang terkandung dalam kutipan di atas adalah betapa agungnya prinsip ahimsa bagi dasar berperilaku.

Lebih lanjut dalam Rgveda (1.41.6) disebutkan bahwa “manusia yang mengikuti jalan ahimsa (astŗtah), melalui atma dan pikirannya (tmanā) akan memenangkan pikiran orang lain (viśvam ratnam), dan akan mendapatkan kemakmuran (vasu) serta memiliki keturunan yang baik (tokam acchāgacchati)”. Karena itu, tidak ada alasan bagi orang Hindu untuk bertindak bertentangan dengan prinsip ahimsa, di samping bernilai inventasi bagi kehidupan yang akan datang, nilai ini dapat pula membentuk pencitraan diri dan kelompok.

Perilaku sosial khas lainnya yang dapat diidentifikasi sebagai ‘warna’ nilai universalisme Hindu adalah kerja (karma) dengan kreativitasnya dan sifat jujur. Dalam Nitisatakam (2003: 96) disebutkan bahwa Seseorang yang lahir di dunia ini dan tidak bekerja keras, ia disebut orang bodoh. Ia hanya membuang-buang waktu dan tidak bisa berhasil dalam hidupnya. Nafas bagaikan kayu cendana yang sangat berharga sehingga setiap manusia semasih hidup perlu berbuat yang baik, jika tidak maka ia akan meninggal sia-sia. Mutiara sangat berharga, tetapi apabila panci yang terbuat dari mutiara dibuat hanya untuk memasak makanan biasa, tidak sepadan dengan nilai mutiara itu. Demikian juga ladang kapas yang tidak begitu berharga dibandingkan bajak yang berwarna emas dan berusaha membuat pematang dari bahan kapur yang mudah hanyut. Inti sari uraian tersebut adalah seseorang perlu memanfaatkan badan yang nilainya bagaikan emas dan mutiara untuk melaksanakan karma yang baik, sebagaimana dinyatakan dalam sloka berikut.

Sthalyām vaidūryamayyām pacati ca laśunam cāndanairindha nādyaih
sovarvarņair lāņgulāgráirvilikhati vasudhā markatūlasya hetoh
chittvā karpūrakhandān vrttiriha kurute kodravāņām samantāt
prāpyemām karmabhūmim carati na manujo yastapo manda bhāgyah.

Dalam Nitisatakam sloka 97 dinyatakan bahwa “bukanlah warna, keturunan, atau tingkah laku yang memberikan pahala, bukan pula pengetahuan maupun pelayanan manusia bisa mendapatkan pahala, melainkan karma yang telah dilakukan, seperti pohon-pohon berbunga dan berbuah pada musim tertentu. Keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh wajah yang cantik atau jelek,  keturunan, dan pendidikan. Pahala ditentukan oleh karma  yang dilakukan pada kehidupan sebelumnya, bagaikan pohon yang ditanam menghasilkan bunga dan buah demikian pula karma yang dilakukan pada kehidupan terdahulu buahnya dapat dirasakan pada kehidupan sekarang (Naivākŗtih phalati naiva kulam na śīlam; vidyā api naiva na ca yatnakŗtā api sev; bhāgyāni pūrvatapasā khalu sancitāni; kāle phalanti puruşasya yathaiva vŗksāh).

Berbuat baik tanpa pamrih merupakan ciri yang dapat diagungkan oleh seorang umat Hindu di manapun berada. Kerja atas dasar penyerahan diri dan sebagai bentuk pengabdian kepada-NYA di satu sisi akan mempu memberikan identitas kultural, di sisi lain ia mampu memberikan perlindungan pada hidup ini, sebab karma yang baik senantiasa akan memberi perlindungan pada hidup dan kehidupan ini, sebagaimana tercantum dalam Nitisatakam sloka 99 berikut.

Vane raņe satru jalāgnimadhye
mahārņave parvatamastake vā
suptam pramattam vişamasthitam vā
rakşanti puņyāni purākŗtāni.

Pada saat berada di dalam hutan, dalam peperangan, dalam air atau api, di samudra yang luas ataupun di puncak gunung, dalam keadaan tidur, saat tidak sadar ataupun sadar, dan dalam kesulitan yang membahayakan, pada saat itu hanya karma baik yang telah dilakukanlah yang dapat melindungi seseorang. Pada saat manusia dalam kesulitan dan dalam peperangan atau tidak ada yang dapat menolong, saat itulah karma yang baik muncul untuk melindungi orang tersebut. Oleh karena itu setiap manusia perlu bekerja dan berbuat baik bila ingin selamat dari kesulitan. Dalam Bhagavad Gita (3. Sloka 5.7.8) disebutkan sebagai berikut.

kascity ksanam api
jatu tisthaty akarmakrit
kàryate hy avasah karma
sarvaá prakritijair gunaiá.

Artinya:
Walaupun untuk sesaat jua tidak
seorangpun untuk tidak berbuat,
karena setiap manusia dibuat tidak berdaya
oleh hukum alam, yang memaksanya bertindak.

Yas twindriyàni manasà
niyamya ‘ rabhate ‘rjuna,
karmendriyaiá karmaayogaam
asaktaá sa wiúisyate.

Artinya:
Sesungguhnya seseorang yang dapat mengendalikan
panca indriyanya dengan pikiran, oh Arjuna,
dengan panca indranya bekerja tanpa keterikatan,
ia adalah sangat dihormati.

Niyatam kuru karma tva÷
karma jyàyo hy akarmaóaá,
úarìyatrà ‘ pi ca te
na prasidhyed akarmaóaá.

Artinya:
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan
sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat, dan
bahkan tubuhpun tidak akan berhasil terpelihara tanpa
berkarya.

Uraian di atas secara tidak langsung telah menyinggung arti penting sewa dan atau pengabdian sebagai bagian dari kerja itu sendiri, sebagai lingkaran ketiga dari sistem sosial Hindu. Lingkaran sistem sosial keempat adalah memupuk rasa persaudaraan dan atau persatuan.

Persaudaran adalah nilai universal yang amat disarankan dalam berbagai kitab  dan kesusastraan Hindu. Dalam Rgveda (5.60.5) disebutkan “Wahai manusia tiada yang besar tiada yang kecil di antara kalian. Semua adalah saudara, majulah demi kemajuan. Para pemuda melaksanakan perbuatan mulia, menghancurkan kejahatan, penyayang seperti orang tua mereka, dan setiap hari berusaha mencapai cita-cita. Dengan demikian, semua manusia hidup dalam kesejahtraan dan kebahagiaan (Ajyesthàso akanisthàsa ete sam bhrataro vavrdhuh saubhagàya yuvà pità svapà rudra ssàm sudughà praúnih sudinà marubhyah).

Dalam Atharvaveda (18.3.73) disebutkan “etadà roha vaya unmrjànah svà lha brhadu didayante; abhi prehi madhyato màpa hàsthàh pitrnàm lokam prathamo yo atra”. Artinya adalah Wahai manusia, dengan menyucikan kehidupan ini tingkatkanlah kemanjuan keluarga dan sahabatmu, milikilah banyak keunggulan. Majulah dan jangan meninggalkan dunia sebelum waktunya. Hiduplah dalam lingkungan masyarakat, karena hidup bermasyarakat adalah hal yang penting di dunia ini.

Lingkaran keempat dari sistem sosial Hindu telah meletakan dasar bahwa sebagai orang Hindu kita harus mampu berinteraksi  dan beradaptasi dengan lingkungan sosial atas dasar prinsip persaudaraan. Hanya dengan dasar itu pula kita akan mampu membuat identitas kultural yang semakin disegani, dan malahan menjadi referensi banyak pihak. Landasan mengenai prinsip ini adalah Tat Twam Asi (aku adalah engkau) merupakan mahavakya yang bersumber dari Veda, yang memiliki dimensi metafisika, fisika, etika sosial, dan landasan humanisme Hindu.

Tat Twam Asi berdasarkan konsep Advaita Vedanta (monisme) memandang manusia secara esensial sama, bukan secara fenomenan sama. Sementara itu, Arthur Schoperhauer pernah menulis ulasan mengenai kitab-kitab suci utama agama Hindu sebagai berikut: “Di seluruh dunia, tidak ada naskah yang demikian indah dan luhurnya dari Upanishad. Kitab tersebut merupakan hiburan kehidupanku, dan akan menjadi hiburan dalam kematianku” (Smith, 1985: 17). Pernyataan Arthur Schopenhauer, tentu bukan tanpa studi yang mendalam. Salah satu ajaran Upanishad yang dimaksud Arthur Schopenhauer adalah Tat Twan Asi, yaitu:

“Sa ya eso’nima aitad atmyam idam sarvam, tat satyam,  sa atma: tat twam asi, svetaketo, iti: bhuya eva ma, bhagavan, vijnapayati iti, tatha, saumya, iti hovaca” (Chandogya Upanishad, IV,8.7).

Artinya:
“Itu yang mana merupakan esensi halus seluruh jagat ini adalah untuk dirinya sendiri. Itulah kebenaran. Itulah Atman. Engkau adalah itu, oh Svetaketu. Mohon junjunganku, ajarkanlah hamba lebih jauh lagi”.

 “Baiklah sayangku”, kata beliau Tat Twam Asi adalah ajaran normatif, yang tidak semata-mata berlaku sesama manusia, tetapi juga sesama makhluk hidup (binatang, tumbuh-tumbuhan) bahkan benda mati sekalipun. Sebab di dalam semua benda itu terdapat energi yang tidak lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat mengakibatkan penderitaan, ketidak seimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran, dan kematian orang lain dan alam semesta, bertentangan dengan ajaran Tat Twam Asi. Jadi sebagai orang Hindu yang diajurkan menghindari kekerasan, menganggap orang lain sebagai saudara besar, serta memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri, bukanlah sekedar nilai normatif yang diajarkan dan dihapalkan. Ia harus menjadi bagian tindakan sadar, terencana, dan menjadi pilihan yang rasional bahwa itu yang terbaik. Jika telah mampu melaksanakan hal ini, selanjutnya setiap orang Hindu harus mampu melaksanakan lingkaran kelima, yaitu suka menolong dalam dimensi seluas-luasnya di antaranya ber dana-punya.

Dana-punya mencakup pengertian yang luas, tidak hanya berdimensi material tetapi juga nonmaterial. Karena itu, setiap orang Hindu dapat melakukannya asalkan ada kemauan. Di antara sekian banyak bentuk sedekah (dana), pemberian dalam bentuk ilmu pengetahuan mempunyai nilai yang paling tinggi. Ini sesuai dengan kitab suci Bhagavadgita (II.33). “Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu dari pada persembahan materi. Dalam keseluruhannya kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, O, Parta”.

Perbuatan dalam bentuk pengendalian indria hawa nafsu, tapa, brata, perbuatan baik, amal-sedekah dan ilmu pengetahuan dapat pula dikatagorikan sebagai dana-punya (Bhagavidgita, III.24-3). dapat dijabarkan dalam banyak hal sebagai berikut.
  1. Menerima tamu dengan ramah, hangat dan sopan, sehingga tamu merasa senang dan dihormati.
  2. Mengajarkan atau menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.
  3. Menunjukkan jalan yang benar dan memberi nasihat kepada orang lain.
  4. Menghibur hati orang yang sedang ditimpa musibah atau penderitaan.
  5. Memberi pertolongan kepada seseorang yang sedang dalam keadaan berbahaya.
  6. Membantu orang yang lemah, sakit, atau buta menyeberangkan jalan atau sungai.
  7. Memberi informasi yang benar atau memberitahukan kabar yang benar kepada seseorang.
  8. Membersihkan atau memperbaiki tempat-tempat umum, misalnya saluran air, taman, jalan, tempat ibadah, dsb.
Dalam kaitan dengan nilai universal yang terkandung dalam konsep dana-punya, menurut kitab Bhavishnya Purana, ada 20 bentuk dana (pemberian), yaitu  sebagai berikut.
  1. Godana : Seekor sapi dan anak lembu yang sehat dihadiahkan kepada seorang brahmana terpelajar naun miskin. Pemberian ini menyebabkan ia yang menghadiakan dana tersebut dapat meraih surga selama kurun waktu yang tak terhingga.
  2. Vrishabha dana : Seekor sapi janatan (vrishabha) dihadiahkan sebagai penghapus dosa-dosa untuk tujuh keturunan.
  3. Mahishi dana : Kerbau betina (mahishi) yang menghasilkan susu dihadiahkan. Pemberian ini dapat memenuhi segala keinginan duniawi pemberinya.
  4. Bhumi dana : Menghadiahkan tanah (bhumi) yang dapat menghapus segala bentuk dosa-dosa yang pernah diperbuat.
  5. Halapamktil dana : Sebuah bajak terbuat dari emas dan permata serta empat model sapi jantan muda terbuat dari emas yang dilekatkan pada sebuah garis/alur (pamkti) dengan bajak (hala). Benda ini dihadiahkan kepada seorang brahmana dalam rangka mencapai suatu tempat di surga selam tujuh keturunan.
  6. Apaka dana : Seribu perangkat dapur dihadiahkan agar mendapatkan putra, pelayan dan kekayaan.
  7. Griha dana : Sebuah rumah (griha) yang cantik dihadiahkan. Pemberian ini memungkinkan seseorang dapat hidup di Shivaloka.
  8. Anna dana : Makanan (anna) dihadiahkan kepada orang-orang kelaparan. Tindakan ini memungkinkan seseorang yang melakukannya hidup di Vishnuloka.
  9. Sthali dana : sebuah piring (sthali) terbuat dari tanah liat atau tembaga diisi makanan dan dihadiahkan. Tindakan ini dapat menghantar kepada suatu keadaan dimana terdapat stok makanan yang tak habis-habisnya dinikmati bagi yang melaksanakannya.
  10. Shayya dana : Menghadiahkan sebuah tempat tidur (shayya) kepada seorang brahmana. Tindakan ini menyebabkan tercapainya surga.
  11. Prapa dana : Prapa adalah stand sebagai tempat menyediakan air minum bagi pejalan. Tempat ini dibangun pada lintasan atau jalur pejalan kaki. Biasanya dibangun di bawah sebuah pohon yang teduh. Stand ini diisi dengan air dan ditinggalkan di bawah pengawasan seorang brahmana. Bentuk sedekah ini menghantarkan seseorang yang melakukannya mencapai surga.
  12. Agnishtika dana : Pada musim dingin, khususnya, api (ageni) dinyalakan pada pagi dan malam hari sehingga dapat menghangatkan setiap orang. Tindakan ini menyebabkan terpenuhinya segala keinginan.
  13. Dasi dana : Seorang pelayan (dasi) diserahkan kepada seorang brahmana, pelayan tersebut dibusanai dengan busana mahal dan dihiasi dengan perhiasan. Pemberian ini dilakukan oleh para apsara (penyanyi surga) di surga.
  14. Vidnya dana : Ini merupakan pemberian buku, pulpen emas atau pot tinta perak kepada seorang brahmana. Pemberian ini juga menyebabkan seseorang mencapai surga
  15. Hiranyagarbha dana : Orang-orang kelaparan diberikan makan dan patung emas dihadiahkan kepada brahmana. Ini juga menyebabkan seseorang mencapai surga.
  16. Brahmana dana : Sebiji telur (anda) emas dipersiapkan dan patung Brahma, Vishnu dan Shiva terubat dari emas dan ditempatkan di atas telur tersebut. Telur tersebut lalu dihadiahkan kepada seorang brahmana bersama dengan pengeras kulit jari kaki (biasanya karena sepatu terlalu sempit), sepatu dan sebuah payung. Hal ini dapat menghapus dosa dan dapat mewujudkan semua tujuan seseorang yang melakukannya.
  17. Kalpavriksha dana : Sebatang pohon (vriksha) emas dengan buah emas dibuat dan dihadiahkan kepada seorang brahmana. Hal ini menjamin bahwa seseorang yang melakukannya akan dapat hidup di Suryaloka dan di sanan ia akan dilayani oleh para apsara.
  18. Saptasagara dana : Garam, susu, dan gula dihadiahkan kepada para brahmana sebagai penghapus dosa.
  19. Dhanya parvat dana : Tumpukan (parvata) biji-bijian (dhanya), susu, emas dan mentega murni dihadiahkan kepada para brahmana.
  20. Tulapurusha dana : Dua pasang piring timbangan digunakan untuk pemberian ini. Donor ditempatkan pada satu sisi piring timbangan (tula danda) dan biji-bijian, dadih, garam, perak dan emas ditempatkan pada sisi agar benar-benar seimbang. Hal ini menentukan jumlah sedekah yang harus disedekahkan. Setengahnya dihadiahkan kepada para brahmana, seperempatnya lagi diberikan kepada para pendeta yang memimpin upacara, seperempatnya lagi diberikan kepada yang memerlukannya. 
Tindakan ini menyebabkan yang melakukannya dapat hidup di Suryaloka. Menurut Buku Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam Masa Pembangunan (1986 : 136 – 137) disebutkan :
  • Brahmadana, yaitu mengamalkan ilmu pengetahuan kepada orang lain terutama ilmu pengetahuan agama;
  • Abdhanyadana, yaitu menyelamatkan orang atau mahluk hidup dari mara bahaya atau memberikan perlindungan kepadanya.
  • Atidana, yaitu mengikhlaskan istri, putra-putri serta keluarga lain untuk melaksanakan dharma agama maupun dharma negara bilamana diperlukan.
  • Mahtidana,  yaitu bertindak sebagai donor darah, mata, ginjal dan bila perlu mengorbankan jiwa sendiri (atmahuti).
Demikianlah yang  disebutkan dalam Bavishya Purana. Disamping itu kitab Agni Purana, Varaha Purana, Matsya Purana dan Garuda Purana juga membahas masalah dana atau pemberian ini. Namun yang perlu dicermati dalam membaca kitab-kitab purana adalah bahwasannya kitab-kitab purana tersebut bersifat metodik-didaktif yang  berfungsi untuk mendidik orang awam terhadap ajaran-ajaran Sruti yang bersifat sangat gaib dan rahasia. Misalnya, sepintas kelihatnnya gampang mencapai surga, hanya dengan menghadiahkan sapi atau tanah. Namun dalam konteks perkembangan peradaban sekarang yang perlu diperhatikan adalah semangat atau spirit kitab-kitab tersebut dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Veda.

Relativisme dalam Tatanan Fisikal

Memang agak sulit membuat identitas kultural yang berdimensi fisikal. Malahan, bagi saya sendiri hal itu tidaklah perlu karena dapat tindakan seperti itu dapat berarti pengingkaran terhadap relativisme itu sendiri sebagaimana tersirat dalam sloka Ekatva anekatva svalaksana Bhatara.

Orang Hindu tidak harus diidentifikasi dengan atribut tunggal yang kasat mata, misalnya hanya orang yang memakai destar (udang) saja yang boleh disebut Hindu atau hanya orang yang hafal seluruh mantra-mantra dasar saja boleh disebut Hindu (sekalipun ini penting). Hindu memberi ruang gerak terhadap varian dan sifat komtemplasi aktivitas beragama. Sekalipun Hindu memberikan beberapa jalan pilihan dalam mendekatkan diri dengan Tuhan, tampaknya juga ada beberapa atribut yang mampu menjadi identitas ke Hindu an, misalnya Padmasana, simbol stana Hyang Widhi, swastika dan Aksara Ong Kara yang telah dibuat dalam bentuk fisikal.

Namun demikian, pembuatan berbagai symbol agama ke dalam wujud fisik dapat menjadi ambivalen (mendua), karena acapkali hal itu dapat menyebabkan terjadinya interpretasi berbeda terhadapa simbol itu yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya kasus pelecehan.


Universalisme dalam Tatanan Ideal

  • Kesucian
Pratena diksam apnoti
diksaya apnoti daksinam
daksina sraddham apnoti
sraddhaya satya apyate.
(Yajurveda: l9.30):


Melaui pengabdian kita memperoleh kesucian.

Dengan kesucian kita mendapat kemulyaan.
Dengan kemulyaan kita mentdapat kehormatan.
Dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.
  •  Satya
Savita satyadharma (Atharvaveda: l.24.l)
Tuhan (savita) menjadikan kebenaran sebagai hukum keberadaan-Nya.
  •  Keesaan Tuhan
Sad eva saumya idam agra àsìd ekam evà dvitìyam, tad haika àhuh,
asad evedam agra àsìd ekam eàdvitìyam, tasmàd saj jàyata.
Chandogya Upanisad:6.2.1


Pada awalnya, o sayangku, ini hanya Ada belaka, hanya tunggal tanpa yang kedua. bebarapa orang menyatakan: “Pada awal-ulanya ini hanyalah Bukan Ada, tanpa yang kedua. dari yang Bukan Ada, munculah yang ada.


Yato và imàni bhùtàni jayante
yena jàtàni jivànti
yat prayanti abhisamvisanti
tad vijijnàsasva, tad brahmeti


(Taitrirya Upanisad: 3.1)

dari mana semua yang ada ini lahir,
dengan apa yang lahir ini hidup,
kemana mereka masuk ketika kembali,
ketahuilah, bahwa itulah Tuhan.


Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rùpa siràn panrêsti jagat,

Wiûóu rùpa siràn pangraksa ng jagat,
Rudra rùpa siràn mralayakên ràt. Nahn tàwak niràn tiga, bheda nama.
(Bhuwanakosa:3.76)


sebagai halnya Bhatara Siwa menciptakan dunia ini. Brahma wujud-Nya waktu menciptakan dunia. Wisnu wujud-Nya ketika memelihara dunia. Rudra wujud-Nya ketika melebur alam ini. Demikian tiga wujud-Nya. Hanya beda nama.


Penutup

Demikian beberapa pemikiran yang dapat  saya sampaikan pada forum yang baik ini, semoga bermanfaat. Akhirnya, saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Yakinlah semua  itu karena keterbatasan saya sebagai manusia. Ucapan terima kasih patut saya sampaikan kepada Kepala Kantor Perwakilan Pemerintah Propinsi Bali yang telah mampu menyelenggarakan kegiatan seperti ini, semoga di masa mendatang semakin bermakna.