Saleppang
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKART 2015
BAB I
PENDAHULUN
1.1 Latar Belakang
Ajaran atau benih-benih filsafat India sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Weda (6000-1000 Sebelum Masehi) pada saat kitab-kitab Mantra Samhita disusun.Perkembangan lebih jelas terlihat ketika kitab-kitab Upanisad disusun sekitar tahun 800-300 Sebelum Masehi, tidak jauh dengan masa tersebut disusun pula kitab-kitab Wiracarita (Ramayana dan Mahabharata juga Purana).
Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", jadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu.Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Dengan mempelajari Darsana akan lebih mudah mempelajari kitab suci. Darsana memberikan pencerahan (kejernihan) bagi umat dalam memahami serta mengamalkan ajaran agamanya.
Filsafat hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran.
Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah:(1) Nyaya, didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis.Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.(2) Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.(3) Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.(4) Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.(5) Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. (6) Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa.Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan. Baca Juga VIDEO BHAJAN "OM HARI OM" DINYANYIKAN OLEH ORANG ARAB
Sarasamucaya II:2
Manusah sarwabhutesu wartteate wai subhasubhe
Asubhesu samawistam subheswewawakarayet
Artinya:
“Diantara semua makhluk, hanya manusia jugalah yang dapat melaksanakan dan membedakan perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.Justru dalam melebur yang buruk menjadi lebih baik itulah merupakan tujuan hidup (pala) menjadi manusia”.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam sistem Nyaya ada dua pemikiran tentang penyebarluasan cita-cita yang ada dalam kitab Nyaya-sutra yang berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu sekolah kuno dan modern dari Nyaya. Sekolah kuno dari Nyaya mengajarkan tentang cara mengembangkan cita-cita yang ada dalam Nyaya sutra. Goutama itu melalui beberapa proses yaitu: menyerang, membalas serangan, dan bertahan disebut pula dengan nama pracina-nyaya.
Sedangkan dalam sekolah modern dari Nyaya yang juga dusebut dengan Nawya-Nyaya,menyebarkan cara penyebarluasan cita-cita yang ada dalam Nyaya-sutra itu melalui bentuk pemikiran yang logis yaitu perpaduan antara konsep, waktu dan cara pemecahannya. Dalam perkembangannya kedua ajaran dari sekolah Nyaya yang berbeda itu dipadukan menjadi satu sistem yang disebut Nyaya-Waisasika.
Selanjutnya sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu:
1. Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
2. Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
3. Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
4. Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
5. Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
6. Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
7. Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
8. Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
9. Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
10. Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
11. Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
12. Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
13. Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
14. Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan,jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
15. Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
16. Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya.Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.
2.2 Epistemologi Nyaya
Bangunan epistemologi Nyaya adalah realis-empiris.Maksudnya bahwa dunia di luar kita berdiri sendiri.Jika dunia di luar kita berdiri sendiri, maka otomatis pengetahuan pun berasal darinya.Jika begini adanya, demikian menurut Nyaya, maka Pengetahuan tentang dunia di luar kita yang berdiri sendiri tersebut mesti didapatkan pertama-tama alat-alat inderawi kita. Akan tetapi Nyaya tidak berhenti hanya pada proses pencerapan inderawi atas sesuatu di luar kita tersebut. Karena bagaimanapun juga, akal mesti ikut berperan di sini.Ini bisa juga dikatakan sebagai pengetahuan yang.
A. Priori dan A Posteriori dalam istilah Kant.
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana) agar pengetahuan awal (yang umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi Nyaya.
1. Pratyakasa Pramana (Proses Pengamatan Langsung)
Pramana pertama adalah Pratyaksa.Pratyaksa adalah pengamatan.Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris.Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada hubungan antara kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu.Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya.Hubungan ini bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing.Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya.Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati.Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu adalahNirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada. Dan untuk sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa, misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga pengetahuan yang bisa keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat lain atau di mana saja.
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara.Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya yang empiris.Bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya.Dari pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak. Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
• Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
• Hetu: alasan penyimpulan
• Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
• Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
• Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna, 2013)
3. Upamana Pramana (Proses Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogiatau perbandingan. Konsep dasarUpamana adalah membandingkan (menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun, penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya:Saya mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus memutar otak agar Si A tahu.Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z. Baca juga Tri Purusa dan Bagian-bagiannya
4. Sabdha Pramana (Proses Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika (logika): Seseorang yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang yang dipercayai kesaksiannya (laukika). Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam manusia.Begitu juga misalnya jika saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada petani, bukan kepada dokter.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Sad Darsana adalah enam sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta.
• Nyaya merupakan dasar dari Sad Darsana yang mengandung Tarka-Vidya (ilmu perdebatan) dan Vada-Vidya (ilmu diskusi). Nyaya bersumber dari Nyaya Sutra yang ditulis Rsi Gautama pada abad ke-4 kemudian diulas oleh Rsi Vatsyayana yang berjudul Nyaya Bhasya (ulasan tentang Nyaya).
• Filsafat Nyaya menegakkan keberadaan Isvara sehingga dikenal sebagai alat utama untuk meyakini sesuatu objek dengan penyimpulan yang tak dapat dihindari.
• Pandangan Filsafat Nyaya dapat memperoleh pengetahuan dengan pikiran dan dibantu dengan indera.
• Filsafat Nyaya dikatakan benar atau salah tergantung dari alat yang digunakan, yaitu:
“Pramata (subjek pengamatan), Prameya (objek yang diamati), Pramiti (kedalaman hasil pengamatan), Pramana (cara pengamatan)”. Untuk Prameya dibagi menjadi 12 bagian, yakni:
1. Roh (atman)
2. Badan (sarira)
3. Indriya
4. Objek indriya (artha)
5. Kecerdasan (Budhi)
6. Pikiran (Manah) 7. Kegiatan (Pravrtti)
8. Kesalahan (Dosa)
9. Perpindahan (Pretyabava)
10. Hasil (Phala)
11. Penderitaan (Dukha)
12. Pembebasan (Apavarga)
• Empat jalan pengamatan (Catur Pramana) yang digunakan Nyaya yakni: Pratyaksa (pengamaatan langsung, Anumana (penyimpulan), Upamana (perbandingan) dan Sabda (penyaksian).
DAFTAR PUSTAKA
Masniwara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu. Paramita: Surabaya.
Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka: Jakarta.
Sastrawan, Juli. 2013. Nyaya Darsana (Online).http://julisastrawan99.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014.
Krishna, Ida Bagus Wika. 2013. Nyaya Darśana (Filsafat Hindu) (Online).http://wikakrishna.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014. Baca Juga: Vaisesika Darsana (Makalah)
0 Komentar