Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
1. Upacara melasti, mekiyis dan melisMelasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/memusnahkan, Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (buana alit), dan juga alat upacara (buana agung) serta memohon air suci kehidupan (tirta amertha) bagi kesejahteraan manusia.
Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca,pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Tuhan Ida Sang Hyang Widi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon permbersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II. 35.3 “Apam napatam paritasthur apah” yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan. Selesai melasti Pretima,arca dan sesuhunan barong biasanya dilinggihkan di Bale Agung (Pura Desa) untuk memberkati umat dan pelaksanaan Tawur Kesanga.Melasti Mekiis Memohon Air Suci Sebelum Melaksanakan Nyepi. Melasti Mekiis Memohon Air Suci ke Laut Sebelum Melaksanakan Nyepi
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
2. Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
3. Tawur Agung/mecaru
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).
Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).
Atau bisa juga: Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pengerupukan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Sesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di catuspata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia.
Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (butha somya). Filosofi tawur dilaksanakan di catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia).
Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Pada malam pengerupukan ini, di bali biasanya tiap desa dimeriahkan dengan adanya ogoh-ogoh yang diarak keliling desa disertai dengan berbagai suara mulai dari kulkul, petasan dan juga “keplug-keplugan” yaitu sebuah bom khas bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelagar seperti suara bom, yang dihasilkan dari proses gas dari karbit dan air yang dibakar mengeluarkan suara ledakan yang mengelegar. Ogoh-ogoh umumnya dengan rupa seram, mata melotot, susu menggelantung yang melambangkan buta kala dalam berbagai rupa, juga menunjukkan kreativitas dari orang Bali yang luar biasa yang terkenal akan seni dan budayanya Ogoh Ogoh Pengerupukan.
Atau bisa juga: Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pengerupukan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Sesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di catuspata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia.
Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (butha somya). Filosofi tawur dilaksanakan di catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia).
Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Pada malam pengerupukan ini, di bali biasanya tiap desa dimeriahkan dengan adanya ogoh-ogoh yang diarak keliling desa disertai dengan berbagai suara mulai dari kulkul, petasan dan juga “keplug-keplugan” yaitu sebuah bom khas bali yang mengeluarkan suara keras dan menggelagar seperti suara bom, yang dihasilkan dari proses gas dari karbit dan air yang dibakar mengeluarkan suara ledakan yang mengelegar. Ogoh-ogoh umumnya dengan rupa seram, mata melotot, susu menggelantung yang melambangkan buta kala dalam berbagai rupa, juga menunjukkan kreativitas dari orang Bali yang luar biasa yang terkenal akan seni dan budayanya Ogoh Ogoh Pengerupukan.
4. Nyepi (Sipeng)
Nyepi jatuh pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa (tanggal 1 bulan ke 10 Tahun Caka). Umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam, dari matahari terbit (jam 6 pagi) sampai jam 6 pagi besoknya. Umat diharapkan bisa melaksanakan “Catur Brata Penyepian” yaitu : Amati Geni artinya tidak boleh berapi-api baik api secara fisik maupun api didalam diri (nafsu). Amati Karya artinya tidak boleh beraktivitas/bekerja. Amati Lelungan, dari kata lelunga yang artinya bepergian, artinya tidak boleh bepergian keluar rumah. Amati Lelanguan artinya tidak boleh bersenang-senang/ menyalakan TV/radio yang bersifat hiburan.
Dengan adanya Catur Brata Penyepian ini, mengingatkan kita agar belajar pendalian diri dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian sehingga kita bisa fokus dan berkonsentrasi dengan baik untuk mulat sarira (kembali ke jati diri) melalui perenungan dan meditasi. Tetapi dalam kenyataannya di masyarakat, masih banyak umat pada saat Nyepi malah menyalahgunakannya untuk berjudi “meceki” seharian. Selain Catur Brata Penyepian, bagi yang umat yang mampu akan sangat bagus jika pada Nyepi bisa melaksanakan tapa, brata, yoga, samadi misalnya dengan puasa selama 24 jam, dan juga monobrata yaitu tidak ngomong alias puasa berbicara sambil selalu memfokuskan pikiran kepada Tuhan Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Dengan adanya Catur Brata Penyepian ini, mengingatkan kita agar belajar pendalian diri dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian sehingga kita bisa fokus dan berkonsentrasi dengan baik untuk mulat sarira (kembali ke jati diri) melalui perenungan dan meditasi. Tetapi dalam kenyataannya di masyarakat, masih banyak umat pada saat Nyepi malah menyalahgunakannya untuk berjudi “meceki” seharian. Selain Catur Brata Penyepian, bagi yang umat yang mampu akan sangat bagus jika pada Nyepi bisa melaksanakan tapa, brata, yoga, samadi misalnya dengan puasa selama 24 jam, dan juga monobrata yaitu tidak ngomong alias puasa berbicara sambil selalu memfokuskan pikiran kepada Tuhan Ida Sang Hyang Widi Wasa.
5. Ngembak Geni
Ngembak Geni berasal dari kata ngembak yang berarti mengalir dan geni yang berarti api yang merupakan symbol dari Brahma (Dewa Pencipta) maknanya pada hari ini tapa brata yang kita laksanakan selama 24 Jam (Nyepi) hari ini bisa diakhiri dan kembali bisa beraktivitas seperti biasa, memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta alias berkreativitas kembali sesuai swadharma/kewajiban masing-masing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiatan mengunjungi kerabat dan saudara untuk mesima krama, bertegur sapa sambil mengucapkan selamat hari raya dan bermaaf-maafan. Dharma Santi juga biasanya diselenggarakan setelah Nyepi yaitu dengan mengadakan dialog keagamaan sekaligus tempat untuk mesimakrama alias bersilaturahmi dengan sesama.
Atau bisa juga dengan: Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Atau bisa juga dengan: Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.
Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.
Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara din sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam din manusia ada sang din /atrnn (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).
Sima krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama.
Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun 2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.
Kalau dituang dalam sebuah pantun boleh jadi sbb.:
Dengan bunga membuat yadnya,
melasti bersama pergi ke pantai.
Jika agama hanya wacana, kondisi
sejahtera – aman damai susah dicapai.
Maka agama harus dimengerti,
dipahami, dilaksanakan atau
diamalkan dengan baik dan benar.
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.
Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural.
Oleh karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau sima krama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesima krama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan.
Karena Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami). Untuk skup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin.
Demikian yang dapat disampaikan, semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya. “Selamat Hari Raya Nyepi tahun Baru saka 1934, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta Wara nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat meningkatkan bhakti sadana menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah (semoga semua pikiran yang baik datang dari segala arah penjuru).
0 Komentar