AGAMA DAN MASYARAKAT
PENDEKATAN KAUM FUNGSIONALISME
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji dan syukur saya haturkan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, berkat bimbingan dan tuntunannya, sehingga dapat saya selesaikan makalah ini. Makalah ini saya susun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama Hindu semester V Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para rekan mahasiswa dan umat Hindu pada umumnya dalam memahami teori Fungsionalisme, untuk perkembngan agama Hindu dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam di bumi Nusantara ini.
Dan saya juga memahami bahwa makalah ini jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan-kekurangan di sana-sini, untuk itu saya selalu membuka diri untuk menerima saran dan kritik dari rekan-rekan mahasiswa dan para dosen yang dapat menyempurnakan makalah ini.
Om Santih Santih Santih Om.
Penyusun,PENDAHULUAN
Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama Hindu Semester V Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Makalah ini berisi tentang teori fungsionalisme, mengingat kata tersebut (teori) dalam pengertian ilmiah berarti sekumpulan gagasan dan konsep yang menggambarkan lapangan studi yang menyangkut masalah-masalah penelitian dan kesimpulan. Di sini teori diketengahkan dalam bentuk materi empiris, dikonseptualisasikan sebagai masalah dan generalisasi empiris yang berdasarkan penelitian, bukan berupa berbagai perumusan abstrak.
Sebagai teori ilmiah, yang menyediakan kerangka acuan bagi pemikiran dan penelitian, kumpulan konseptual sosiologi agama sangat mengesankan. Dalam pengertian teknis, sosiologi agama hanya merupakan satu aspek studi hubungan antara gagasan dan prinsip yang diwujudkan dalam gerakan dan lembaga serta asal-usul situasi sosialnya, perkembangan, kemajuan serta kemundurannya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen yang telah memberikan tugas untuk menyusun makalah ini, sehingga penyusun dapat memenuhi tugas untuk memenuhi nilai mata kuliah Sosiologi Agama Hindu semester V di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ………………………………………………………………………
PENDAHULUAN………………………………………………………………………….
AGAMA DAN MASYARAKAT PENDEKATAN KAUM FUNGSIONALISME ………
- TEORI FUNGSIONAL
- ARTI PENTING TEORI FUNGSIONAL
Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologinya. Agama, yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah social yang sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat dimana kita memiliki berbagai catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan oleh para ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistim social. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran. Dan juga berbeda dengan lembaga keluarga yang mengatur serta memolakan hubugan antar jenis kelamin, antar generasi yang diantaranya berkaitan dengan pertalian keturunan serta kekerabatan. Masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, ia menyangkut dunia luar (the beyond), hubungan manusia dan sikap terhadap dunia luar itu, dan dengan apa yang dianggap manusia sebagai implikasi praktis dari dunia luar tersebut terhadap kehidupan manusia.
Dalam kalimat sosiologi Itali Vilfredo Pareto; masalah ini menyangkut dengan apa yang disebut “pengalaman transenden”, mengartikan pengalaman atas kejadian yang ada sehari-hari dan yang dapat diamati atau penyaringan dan penanganan yang sistematis terhadap pengalaman secara ilmiah.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradap. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, pengabaian, tahayul dan kesia-sian. Yang jadi masalah ialah bagaimana sosiologi seharusnya mendekati seefektif mungkin (observasi dan analisa) aspek eksistensi social manusia yang berisi banyak dan kabur ini.
TEORI FUNGSIONAL
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga social yang berada dalam keseimbangan; yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang komplek ini secara keseluruhan merupakan sistim social yang sedemikian rupa dimana setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian yang lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain pada akhirnya mempengaruhi kondisi system keseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga. Karena itu lahirlah masalah, sejauh mana sumbangan masing-masing kompleks kelembagaan ini dalam mempertahankan system social.
Sumbangan yang demikian mungkin nyata atau hakiki. Sumbangan itu bisa sedemikian rupa sehingga berada dalam pemahaman para pelaku dan dapat di luar jangkauan kesadaran kesadaran para pelaku itu sendiri. Dengan kata lain sebagai bagian dari keseluruhan sistim social, lembaga social itu mempunyai fungsi manifest dan fungsi laten. Sehubungan dengan subjek ini timbul masalah yaitu sejauh mana fungsi manifest dan laten lembaga keagamaan dalam memelihara keseimbangan seluruh sistim sosial.
Teori fungsional melihat kebudayaan sebagai sejumlah pengetahuan yang kurang lebih agak terpadu, sebagai pengetahuan semu, kepercayaan dan nilai. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan suatu sistim makna-makna simbolis (symbolic system of meanings) yang sebagian diantaranya menentukan realitas sebagaimana diyakini, dan yang sebagain lain menentukan harapan-harapan normatif yang dibebankan pada manusia. Unsur-unsur yang membentuk sistim makna budaya (system of meaning) dapat implisit maupun ekplisit. Suatu system makna budaya itu memperlihatkan beberapa tingkat kepaduan yang menyeluruh dan jalan menuju konsistensi. Kebudayaan menyatu dengan sistim social dalam arti ia berada dalam batasan sarana dan tujuan, proskripsi dan dan preskripsi, yang dibenarkan dan yang dilarang, dengan menentukan peranan di mana anggota masyarakat menghadapi harapan-harapan situasi social mereka yang telah mapan.
Agama dengan referensi transendensi ke dunia luar jangkauan itu merupakan aspek penting fenomena kultural. Kebudayaan bagi manusia merupakan kreasi dunia penyesuaian dan kemaknaan, dalam konteks mana kehidupan manusia dapat dijalankan dengan penuh arti. Dengan demikian kebudayaan memasuki pemikiran dan perasaan manusia dan penting bagi bentuk-bentuk social yang tampil atas kesengajaan manusia. Agama merupakan dunia imajinasi yang sangat penting yang berfungsi secara social, dan ungkapan verbalnya hanya merupakan peragaan bagian terkecil saja.
Masyarakat manusia, beserta kebudayaan yang merupakan sarana survival manusia dan masyarakat, sering membutuhkan kematian sebagian anggota demi kelanjutan hidup mereka. Manusia juga mengungkapkan perasaan, bertindak melaksanakan kebutuhan yang dirasakan, menanggapi orang dan benda dengan cara yang non utilitarian dan terlibat dalam hubungan-hubungan. Manusia tidak pernah mencurahkan dirinya pada “kegiatan, interaksi dan sentiment” melampaui berbagai kebutuhan kelangsungan hidup. Manusia juga mempunyai kebutuhan mengungkapkan, dan dalam tugas-tugas mencari penyelesaian masalah, ia menjalankan hubungan di antara sesama dan dengan situasi .
Teori fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan atas karakteristik pentingnya, yakni transendensi pengalaman sehari-harinya dalam lingkungan alam. Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia di luar jangkauannya. Dengan kata lain eksistensi manusia, ditandai oleh ketikpastian. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat, pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar tertentu, kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaannya. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran.
Disini tercakup pembagian kerja dan produk. Ia membutuhkan kondisi imperaktif, yakni suatu tingkat superordinasi dan sub-ordinasi dalam hubungan manusia. Kemudian masyarakat berada di tengah-tengah kondisi kelangkaan, yang merupakan ciri khas pokok ketiga dari eksistensi manusia. Jadi seorang fungsional memandang agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan ketiga fakta ini, ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan (dan dengan demikikan harus pula menyesuaikan diri dengan frustrasi dan deprivasi). Agama dalam artian ini dipandang sebagai “mekanisme” penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur yang mengecewakan dan menjatuhkan.
Kemungkinan atau “konteks ketidakpastian”, menunjuk pada kenyataan semua usaha
manusia, betapapun direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan seksama tetap tidak terlepas dari kekecewaan. Dan selama usaha demikian itu sering ditandai oleh tingkat keterlibatan emosional yang tinggi, maka kekecewaan tersebut akan membawa luka yang dalam. Bahkan di masyarakat teknologi yang telah maju ini pun, keberuntungan tetap merupakan suatu berkat dari ketidakpastian.
Ketidakberdayaan, atau “konteks ketidakmungkinan” menunjuk pada kenyataan tidak semua yang diinginkan bisa diperoleh. Kematian, penderitaan, paksaan semua hal itu menandai eksistensi manusia. Bencana yang diderita akibat kelemahan jasad kita itu merupakan warisan yang satu sama yang lain dengan atau tanpa kemauan sendiri akan mengganggu eksistensi dan menjauhkan kita dari kepuasan dan kebahagiaan.
Ketidakpastian dan ketidakberdayaan, pengalaman manusia dalam konteks ketidakpastian kultur dari tujuan dan norma sehari-hari. Sebagai ciri khas yang merupakan bawaan kondisi manusia, maka ketidakpastian dan ketidakberdayaan membawa manusia berhadapan langsung dengan berbagai situasi di mana berbagai teknik yang telah mapan serta resep-resep social, ternyata tidak memiliki kelengkapan total sebagai penyedia “mekanisme” penyesuain. Kedua hal itu menghadapkan manusia pada “titik kritis” (breaking point) dengan lingkungan prilaku sehari-hari yang berstruktur.
Dalam hubungannya dengan ketidakpastian dan ketidakberdayaan yang merupakan kondisi alamiah manusia itu perlu ditambahkan frustasi dan deprivasi yang merupakan bawaan masyarakat manusia. Alokasi fungsi, fasilitas dan ganjaran, yang membentuk struktur dasar masyarakat terbentuk dan berada di bawah kondisi kelangkaan yang beragam. Di sini ada golongan yang berpunya dan golongan tidak berpunya. Lagi pula tatanan menuntut wewenang, sedangkan wewenang membutuhkan sub-ordinasi. Pengawasan dan pengendalian seringkali terbukti sama mengecewakan seperti halnya deprivasi. Masyarakat dan kebudayaan mengajarkan bahwa apa yang dibutuhkan, dianjurkan, dimintakan, akan memperoleh ganjaran baik dalam bentuk material maupun non material.
Teori fungsional menumbuhkan perhatian kita pada sumbangan fungsional agama yang jangkauan dan keyakinannya bahwa manusia berkepentingan pada sesuatu yang di luar jangkauan itu telah memberikan suatu pandangan realitas supra-empiris menyeluruh yang lebih luas. Konteks realitas ini, kekecewaan dan frustasi yang dibebankan oleh ketidakpastian dan ketidakmungkinan dan oleh tatanan masyarakat manusia yang telah terlembaga, akan
terlihat dalam berbagai pengertian yang ultima sebagai bermakna dan ini memungkinkan penerimaan dan penyesuain dengannya. Apa lagi dengan memperlihatkan norma dan peraturan masyarakat sebagai bagian dari tatanan etis supra-empiris yang lebih besar, telah ditetapkan dan disucikan oleh kepercayaan dan praktek beragama, maka agama dalam hal ini telah mendorong penguatan pelaksanaannya, bila ternyata tindakan umat bertentangan dengan keinginan atau kepentingan undang-undang atau norma tersebut.
Dengan demikian agama menjawab masalah makna. Ia memberikan sanksi pada norma tatanan social yang telah mapan pada apa yang kita kenal sebagai “titik kritis”, dengan menyediakan suatu dasar kepercayaan dan orientasi manusia dari sudut pandangan realitas yang mentransendenkan pengalaman sehari-hari di sini dan saat ini. Lebih dari itu manusia membutuhkan jawaban masalah makna dari sudut orientasi kognitif terhadap dunia, tetapi juga melaksanakan kebutuhan dan masuk ke dalam hubungan-hubungannya. Inilah aspek penting dari sebagian besar agama yaitu menawarkan ritus dan liturgi, yang memungkinkan manusia memasuki hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau kekuatan-kekuatan suci lainnya, dan yang memungkinkan mereka bertindak memberikan tanggapan dan merasakan keterlibatannya dalam hubungan-hububgan tersebut. Dengan demikian yang teratasi tidak saja frustasi kognitif, yang memang terkait dalam permasalahan makna ini, tetapi juga memperlancar penyesuaian emosional terhadap frustasi dan deprivasi yang melekat dalam hidup dan masyarakat manusia.
ARTI PENTING TEORI FUNGSIONAL
Dari sudut pandangan teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsure-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya. Dari sini kita dapat menyebutkan enam fungsi agama.
Pertama, agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, dan terhadap mana manusia memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan rekonsiliasi.
Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transcendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, karena itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan kondisi manusia dan arus serta perubahan sejarah.
Ketiga, agama mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu dan disiplin kelompok di atas dorongan hati individu.
Keempat, Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti di mana norma-norma yang telah terlembaga, dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini mungkin saja benar khusus dalam hubungannya dengan agama yang menitik beratkan transendensi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya pada dan kemerdekaannya dari masyarakat yang mapan.
Kelima, agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peran serta manusia di dalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia dan apa ia .
Keenam, agama bersangkut-paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu, dan perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat. Dalam masing-masing peristiwa ini, masalah-masalah baru menantang individu. Agama mensucikan norma dan tujuan; mendukung disiplin masyarakat dalam hal-hal yang penting; menawarkan dukungan dalam ketidakpastian, pelipur lara dalam kekecewaan dan kegagalan; membantu mengembangkan identitas individu. Dalam semua hal ini agama melibatkan diri individu dalam proses belajar.
Jadi menurut teori fungsional, agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Agama bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung mengatasi kesalahan dan keterasingan. Ia juga dapat melakukan peran risalat dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan atau bahkan memiliki pengaruh
6
subversive yang mendalangi masyarakat tertentu.Sumbangan agama kepada masyarakat bisa bersifat positif dan negative. Ia mungkin mendukung kesinambungan eksistensi masyarakat, atau berperan menghancurkannya.
Teori fungsional menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami agama sebagai fenomena social yang universal. Ini mencuatkan perhatian kita pada aspek-aspek strategis semua agama; kerangka transendensi dan arti penting fungsionalnya terhadap kebudayaan, masyarakat dan kepribadian manusia. Agama memberi kebudayaan sebagai tempat berpijak yang berada di luar pembuktian empiris atau tidak terbukti, atas dasar mana makna yang tertinggi dipostulatkan.
Agama memberikan sumbangan pada sistem social dalam arti pada titik kritis, pada saat manusia menghadapi ketidakpastian dan ketidakberdayaan, agama menawarkan jawaban terhadap masalah makna. Ia juga menyediakan sarana untuk menyesuaikan diri dengan frustrasi karena kecewa, apakah itu berasal dari kondisi manusia ataupun dari susunan kelembagaan masyarakat. Fungsi agama bagi kepribadian manusia ialah menyediakan dasar pokok yang menjamin usaha dan kehidupan yang menyeluruh, dan menawarkan jalan keluar bagi pengungkapan kebutuhan dan rasa haru serta penawar bagi emosi manusia. Sebaliknya agama mendukung disiplin manusia melalui pemuasan norma dan nilai-nilai masyarkat, yang karena itu memainkan peran mensosialisir individu dan dalam mempertahankan stabilitas social.
Sama halnya dengan pendekatan fungsional ialah sarana “konsepsi” dalam memahami hubungan antara agama dengan masyarakat pendekatannya terhadap studi agama yang setengah-setengah dan tak lengkap. Banyak masalah agama yang cukup berarti tidak diajukan dan tidak dijawab. Pendekatan fungsional juga cenderung menitik beratkan fungsi konservatif agama dan mengabaikan sifat kreatif dan revolusionernya yang potensial. Kasus inilah khususnya yang dijumpai bila masalah fungsional didekati dalam konteks analisa system social, ketimbang dari sudut analisa tindakan (action analisis) seperti pendekatan parsons. Dalam konteks sistem social, teori fungsional menunjukkan bahwa agama merupakan kebutuhan fungsional di semua masyarakat dan karenanya kelompok-kelompok di masyarakat yang menentang agama jelas “keliru”. Jadi teori fungsional sengaja memasuki distorsi “apologetic” , walaupun keyakinan praktisnya tidak demikian.
0 Komentar