Agama Hindu Bali (disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ["agama Air Suci"]) adalah suatu praktik agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh mayoritas suku Bali di Indonesia. Agama Hindu Bali merupakan sinkretisme (penggabungan) kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan asli (local genius) suku Bali.

Peninggalan terkuno yang dikenal di Indonesia berkaitan dengan agama Hindu adalah arca Ganesha dan Siwa yang ditemukan di pulau Panaitan dan diperkirakan dari abad pertama setelah Masehi[2]. Selain itu, ada juga tujuh buah yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, dan diperkirakan dari sekitar tahun 400 Masehi.[3] Di Bali, peninggalan terkuno yang dikenal adalah arca Siwa yang ditemukan di Bedulu, Gianyar, dan diperkirakan dari abad ke-8[3] yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
  1. Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
  2. Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
  3. Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
  4. Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Caturwarna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Caturwarna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.


Umat Hindu Bali memiliki sistem kalender sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan hari raya Hindu di India dan Nepal. Hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon, kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka dari India.

Hari Raya berdasarkan Wewaran
Galungan — Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
Pagerwesi

Hari Raya berdasarkan Kalender Saka
Siwaratri
Nyepi

Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.

Manusa Yadnya
  • Otonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.
  • Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Pitra Yadnya.
Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).

Reffrensi: http://id.wikipedia.org