Faktor kunci di alam kematian adalah samskara [kesan-kesan pikiran] kita sendiri. Perjalanan atma di alam kematian digerakkan oleh energi yang sama dengan energi yang membentuk pikiran. Kecenderungan pikiran yang negatif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang gelap dan sebaliknya kecenderungan pikiran yang positif saat kematian akan membawa kita menuju alam-alam yang terang. Karena lapisan badan kita di alam kematian digerakkan oleh bahan-bahan energi yang sama dengan yang membentuk pikiran kita. Sehingga setelah mati kita kemudian akan tinggal atau pergi terbawa pada salah satu alam-alam halus yang paling sesuai dengan kualitas dan kecenderungan pikiran kita sendiri.
Dengan kata lain, faktor paling menentukan dalam menyambut kematian adalah bagaimana evolusi keadaan bathin kita semasa kehidupan dan keadaan bathin kita di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir. Itulah yang akan sangat menentukan kita akan pergi kemana. Mereka yang saat kematian tidak siap, penuh ketidakrelaan karena keterikatan duniawi, penuh rasa sakit, takut, ragu, bingung, melawan, apalagi dalam sifat kejam [tanpa welas asih], dalam kemarahan-kebencian, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang gelap.
Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kematian salah pati. Sebaliknya, kalau di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan berakhir, kita mengalami kedamaian bathin, sangat mungkin nantinya pada proses kematian akan memasuki perjalanan yang terang. Dan yang paling baik [kalau memungkinkan] tentunya kita bisa amor ring acintya, menyatu dengan “yang mahasuci yang maha tidak terpikirkan”. Jiwa yang sudah terbebaskan [jivan-mukti] akan seketika mengalami moksha [pembebasan sempurna].
Karena itu sangat penting diinformasikan kepada orang-orang yang akan meninggal, di menit-menit dan detik-detik terakhir ketika kehidupan akan berakhir, sangat penting mengalami menit-menit dan detik-detik terakhir yang shanti [damai]. Di jalan dharma kematian adalah perjuangan spiritual yang paripurna. Itulah sebabnya bagi para yogi, para mpu, para danghyang, para maharsi, mengajarkan bahwa tugas spiritual pokok manusia semasa hidupnya adalah membina diri melenyapkan sad ripu [enam kegelapan bathin] dan menumbuhkan sifat penuh welas asih dan kebaikan. Gunanya agar ketika kematian itu benarbenar datang, kita sudah sangat siap dan bisa mengalaminya dalam keadaan yang sangat shanti [damai].
MENYAMBUT SAAT-SAAT MENJELANG KEMATIAN SECARA BENAR
Bayangkan kita terbaring lemah di tempat tidur dan sebentar lagi kita akan mati. Apa yang harus kita lakukan ? Di dalam ajaran Hindu Dharma jelas sekali disebutkan bahwa untuk dapat mengalami proses kematian dan perjalanan kematian yang terang dan indah kuncinya adalah selalu terserap ke dalam atman, selalu terserap dalam samadhi. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan selalu terserap dalam samadhi minimal adalah memiliki tiga kondisi bathin ini, yaitu :
UPEKSHA [bathin yang tenang-seimbang], CITTA-SUDDHI [bathin yang bebas dari enam kegelapan bathin] dan VAIRAGYA [bathin yang bebas dari keterikatan pada apapun]. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, selalu terserap dalam samadhi adalah bathin yang damai, jernih dan tenang-seimbang.
Tapi sayangnya bagi orang kebanyakan yang dalam avidya [kebodohan, ketidak-tahuan] cenderung merasakan kematian adalah kehilangan yang amat sangat besar. Orang yang mati merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan keluarga, kehilangan sahabat, kehilangan rumah, kehilangan mobil, kehilangan pekerjaan, kehilangan jabatan, kehilangan hobi, kehilangan deposito, kehilangan acara tv favorit, kehilangan kenikmatan-kenikmatan indriya dan bahkan kehilangan badan fisik yang digunakan untuk beraktifitas.
Intinya merasa kehilangan segala-galanya. Sehingga seringkali orang yang meninggal kemudian tenggelam di dalam perasaan sedih yang mendalam. Bahkan orang yang terlatih dalam sadhana kadang-kadang juga bisa mengalami hal ini, mengingat harus kehilangan badan fisik, seluruh harta benda dan seluruh kehidupan ini bisa menjadi pengalaman yang sangat sulit. Ketika harus menghadapi kenyataan bahwa segala apa yang kita ketahui harus lenyap, tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi dan kemana akan pergi. Tidak satupun pengalaman dalam kehidupan yang menyiapkan kita untuk ini. Ini tentu sangatlah menakutkan.
Akan tetapi bila kita memiliki ajaran dharma tentang siklus samsara dan perjalanan dalam kematian, kita akan mengetahui bahwa pengalaman ini sesungguhnya sudah berjuta-juta kali kita alami. Kalau merujuk kepada buku-buku suci Hindu disebutkan manusia di jaman sekarang dalam siklus samsara sudah mengalami rata-rata sebanyak 8.400.000 [8,4 juta] kelahiran sebagai beragam mahluk.
Melalui ajaran dharma kita dapat mengetahui perjalanan seperti apa yang akan kita alami. Kita dapat mengetahui pentingnya melakukan latihan sadhana selama masa kehidupan. Dan kita dapat mempersiapkan diri dan melakukan latihan menyambut perjalanan di alam kematian. Kita dapat mengetahui betapa pentingnya moment ini untuk menghentikan siklus samsara yang sudah berjutajuta kali kita alami.
Kematian yang gelap dan celaka adalah kalau di menit-menit dan detikdetik terakhir ketika kehidupan kita akan berakhir, yang kita pikirkan adalah selingkuh, yang kita pikirkan adalah deposito, sertifikat tanah, jabatan penting, rumah megah dan mobil mewah. Yang kita pikirkan adalah sakit kita yang tidak sembuh-sembuh. Yang kita pikirkan adalah rasa marah kita pada si A dan si B. Dsb-nya. Kalau ini yang terjadi, ketika mati sangat mungkin kita akan mengalami perjalanan kematian yang gelap.
Disini ayusya karma [karma perjalanan kematian] mengambil peranan cukup besar. Ayusya karma adalah akumulasi karma seseorang yang akan menjadi penentu ke alam mana atma seseorang akan terbawa pergi setelah dijemput kematian. Ayusya karma sangat mungkin akan membawa kita menuju alam-alam suci dan bahagia kalau semasa kehidupan manusia pikiran kita suci, perkataan kita suci dan perbuatan kita suci. Sebaliknya ayusya karma sangat mungkin akan membawa kita menuju empat jalur perjalanan atma yang buruk kalau semasa kehidupan pikiran kita gelap, perkataan kita kotor dan perbuatan kita banyak melanggar dharma.
Hindu Dharma mengajarkan kita untuk menghadapi kematian dengan pikiran dan kesadaran yang terang. Di depan kematian pikiran dan kesadaran kita harus jernih dan terang. Atau kalau semasa hidup kita tidak terlatih, kita bisa mencoba berkonsentrasi terhadap hal-hal yang terang dan suci, seperti misalnya dengan berjapa-mantra dalam hati sambil memusatkan pikiran kepada satguru atau ista dewata yang paling sering kita puja, atau dengan melakukan meditasi. Dan semuanya jangan dilakukan dengan tegang, apalagi melawan. Tapi lakukan dengan penuh kedamaian dan tingkat kerelaan yang sempurna. (sl)
Sumber: Buku Samsara, Perjalanan Sang Atma, Karya I Nyoman Kurniawan (Bab 3)
0 Komentar