Setiap umat manusia tentunya memiliki cara berbeda saat bertemu dengan orang lain. Apalagi orang baru, tentunya nggunakan kata yang berbeda. Meski demikian inti dari semua itu adalah Salam. Yang paling umum dan berlaku universal adalah selamat pagi, siang, malam, dan tidur yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan makna yang sama. Dalam komunitas agama kita pun mengenal salam dengan ucapan berbeda-beda, tetapi memiliki makna yang identik . Seperti misalnya dalam Hindu dikenal salam atau panganjali yaitu “Om Swastyastu” yang bila dicari artinya di dalam kamus adalah semoga selamat.

Di dalam salam itu terdapat makna yang dalam karena diucapkan pula wijaksara suci Om sebagai Triaksara yang berada dalam masing-masing Dewa Tri murti yaitu A, U, M yang disandikan menjadi Om. Jadi dalam salam Om Swastyastu terkandung makna semoga selamat dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain Om Swastyastu dikenal pula istilah namaste yang artinya salam atau menghormat, hanya saja salam ini kurang memasyarakat bagi masyarakat Hindu di Bali.

Akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi informatika terutama dalam alat komunikasi seperti Hand Phone atau jejaring sosial dalam internet, face book, twitter, maka salam itu pun mengalami perkembangan dalam penulisan yang disingkat seperti misalnya dalam mengirim Short Messages Service (SMS) sesama komunitas Hindu. Memulai menulis, maka akan diketikkan kata Osa, yang  seakan singkatan dari Om Swastyastu.

Penggunaan bahasa yang digunakan oleh orang-orang adalah sebuah simbol berdasarkan kesepakatan. Oleh karena akses yang cepat dan menulis pesan yang tidak mungkin panjang-panjang sesuai kata itu, maka di dalam SMS akhirnya disepakati (kesepakatan nonformal-red) sebagai sebuah konvensi untuk mengganti Swastyastu dengan tulisan singkat di SMS menjadi Osa. Osa sebenarnya tidak mengandung makna apa-apa karena berupa singkatan.

Pertama kali menerima SMS dengan salam seperti itu saya pun tidak mengerti apa maksudnya. Terlebih pada penutup pesan diketik OS3XO yang diartikan sebagai kepanjangan dari Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Sama dengan Osa, maka OS3X tidak bermakna apa-apa karena disingkat. Akan tetapi kalau berupa kesepakatan di antara komunitas Hindu, maka singkatan itu akan dapat dimengerti karena tidak mungkin menulis secara utuh dalam sebuah SMS. Namun di dalam surat menyurat resmi antarinstansi Hindu tetap saja penulisan salam pembuka dan penutup dengan kata yang lengkap, yaitu Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om yang artinya semoga selamat dan semoga damai di hati damai di bumi damai selalu.

Kecerdasan umat Hindu menyingkat salam itu sedemikian rupa karena di dalam Hindu pun ada singkatan dari Panca Aksara dan Panca Brahmaa yang akan membentuk dasaksara yaitu SA, BA, TA, A, I, NA, MA. SI, WA, YA. Singkatan itu adalah singkatan Dewa-Dewa penguasa penjuru mata angin seperti Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, Isyana. Singkatan itu akan sering digunakan dalam mantra untuk muput sebuah upacara misalnya.

Di tengah dinamika kebudayaan Bali, maka orang Bali pun ingin hidup dalam budaya glokal, yaitu hidup dalam era globalisasi namun tetap cinta pada budaya lokal, maka orang Bali pun ingin bahwa jati dirinya tetap eksis di percaturan hidup. Mulailah orang Bali ingin menunjukkan identitas dengan salam ala Bali seperti Rahajeng semeng, siang, wengi bukannya dipakai Rahajeng tengai untuk siang. Inilah bahasa gado-gado.

Ditambah lagi dengan salam Swasti prapta yang diartikan selamat datang. Hal ini dipopulerkan oleh stasiun radio dalam acara mebasa Bali oleh para penyiarnya sehingga masyarakat/pemirsa yang mendengar salam itu mencoba pula untuk menirunya. Dalam hal ini seakan-akan orang Bali mencari-cari bentuk peniruan dalam bahasa Jawa karena dalam bahasa Jawa dikenal salam Sugeng rawuh ‘selamat datang, sugeng enjing ‘silakan masuk’ maupun sugeng sare ‘selamat tidur’. Sejatinya dalam kehidupan orang Bali terutama di pedesaan salam itu belum memasyarakat, karena orang Bali memiliki ungkapan hati dengan bahasa tersendiri.

Seperti misalnya kalau ada tamu yang datang, wawu rawuh nggih, durusang melinggih dumun. “Baru datang ya, silakan duduk dulu!.” Kalau seseorang punya hajatan yadnya, maka yang punya hajatan (meduwe karya) mengatakan, “Suba teka dogen tiang suba demen.” Artinya, “Sudah berkenan untuk datang saja, saya sudah senang.” Jadi bukan kata “suksma” yang diucapkan. Begitu pula dalam sebutan untuk Tuhan dalam Hindu yang di dalam Upanisad disebut Brahman, sedangkan orang Bali-Hindu menyebut dengan Sang Hyang Widhi.

Ada juga gelar atau sebutan yang lain sesuai sifat, fungsi, dan prabhawaNya, seperti Sang Hyang Wenang, yaitu gelar Tuhan sebagai pemegang wewenang atau kebenaran yang mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan alam, disebut pula Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ayu, dan Sang Hyang Widya. Istilah yang paling gres yang agak latah diucapkan oleh orang Bali yang mencoba-coba mencari padanan dalam bahasa Bali bila mendengar orang muslim berkata untuk sebuah kegiatan, misalnya alhamdulilah yang artinya semoga, yaitu dengan kata astungkara yang kira-kira di benak orang yang mengucapkan itu diartikan sebagai semoga padahal arti denotasi bila dilihat pada kamus adalah puja, atau sembah. Inilah sebuah penggunaan kata yang semantiknya tidak sesuai karena terkesan salah kaprah.

Orang Bali mengenal padanan kata alhamdulilah adalah dengan kata dumogi atau dumadak. Dumugi (adv) artinya moga-moga, dumugi sadia rahayu artinya moga-moga selamat sentosa sedangkan dumadak (adv) artinya semoga, dumadak apang rahayu artinya semoga selamat. Agar mewakili apa yang dimaksudkan dalam berbahasa, maka gunakanlah bahasa dengan baik dan benar yang sesuai dengan situasi serta dengan tata bahasa yang benar.